Minggu, 16 Maret 2014

biografi dewi sartika

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Awal-Mula
Dewi sartika dilahirkan pada tanggal 4 Desember tahun 1884. Ayahnya bernama R. Rangga Somanegara yang merupakan Patih Bandung. Sedangkan ibunya bernama R.A. Rajapermas yang merupakan putri Bupati Bandung R.A.A Wiranatakusumah IV. Dewi sartika bersama-sama saudaranya, R. Somamur, R. Junus, R. Entis, dan R. Sari Pamerat dibesarkan dalam lingkungan kehidupan keluarga yang harmonis.
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda,. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.


Kehidupan Anak-Anak

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung,

Dia mencari ilmu dari kehidupan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, sampai dia berhasil menjadi pimpinan salah satu sekolah. Walaupun tangan kanannya cedera gara-gara jatuh waktu bermain, dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Tetapi pada bulan Juli tahun 1893 kedamaian keluarga Dewi Sartika berakhir karena ayahandanya dituduh terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit. Hukuman yang diterima adalah hukuman buangan ke Ternate. Sang ibu juga ikut menyertai ke Ternate sehingga Dewi Sartika dan saudara-saudaranya dititipkan pada sanak keluarga tanpa bekal apapun karena harta bendanya disita semuanya. sedangkan Dewi Sartika oleh bapak tuanya dibawa di tengah-tengah kehidupan keluarganya di Cicalengka.

Di Cicalengka, Dewi Sartika tidak diperlakukan semestinya dan dikucilkan. Dia hanya dianggap sebagai pelayan dan ditempatkan di belakang jauh dari tempat yang lazim dihuni oleh keluarganya / anak didiknya. Walaupun dia merasa kesepian dan sedih, dia tidak pernah menghiraukannya karena dia mempunyai tugas-tugas yang harus diselesaikan setiap hari. Meskipun dia menderita, tapi dia banyak mendapatkan pelajaran tentang memasak, menjahit, menyulam dan kerajinan tangan yang diajarkan oleh istri Patih Arya. Selain itu, Dewi Sartika punya tugas mengantar saudara-saudara sepupunya pergi kerumah nyonya Belanda untuk belajar membaca dan menulis bahasa Belanda. Di situ Dewi Sartika tidak diperkenankan masuk, Cuma mendengar dari balik pintu. Karena kecerdasannya, dia bisa menangkap semua pelajaran itu.
Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.


Kehidupan Pendidikan

Dewi Sartika diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah pada kelas satu (Eerste Klasse School). Suatu saat terjadi kejadian penting pada keluarganya, sehingga dia terpaksa mengakhiri sekolah sampai kelas 2 B. Di sekolah itu, dia memperoleh pendidikan dasar yaitu membaca, menulis dan Bahasa Belanda. Selain itu, dia juga mempunyai banyak teman dari bangsa sendiri maupun dari bangsa Belanda. Meskipun dia bersekolahnya hanya sebentar, namun semangat untuk belajar masih sangat besar.
Kehidupan Masa Dewasa

Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Kegiatannya Dewi Sartika sebagai kepala sekolah cukup menyita waktunya. Dia berangkat pagi dan pulang tengah hari. Begitu berlangsung setiap harinya sehingga menimbulkan keibaan bagi ibunya yang tak ingin melihat putrinya bertambah usia dan tak kunjung punya suami. Dewi Sartika pada mulanya pernah dilamar keluarga Pangeran Djajadiningrat dari Banten untuk salah satu putranya. Lamaran itu ditolak dengan alasan belum mengenalnya, meski ibunya berkenan dengan pria itu.


Kehidupan Bermasyarakat

Di antara kesibukan-kesukan pekerjan, Dewi Sartika masih mempunyai cukup perhatian terhadap masalah-masalah yang sedang menjadi pemikiran masyarakat. Terutama terhadap masalah-masalah yang menyangkut kemajuan dan peningkatan derajat wanita. Dia  juga memberantas pelacuran yang merupakan salah satu persoalan yang terjadi pada kalangan masyarakat. Menurut Dewi Sartika memberantas pelacuran sangat sukar, selama gadis-gadis tidak mampu hidup mandiri. Karenanya untuk mengurangi pelacuran, orang hendaknya mendirikan lebih banyak sekolah untuk gadis, sehingga mereka dapat menikmati pendidikan yang lebih baik. Bukan semata-mata hanya belajar membaca., menulis , merajut dan lain-lain, akan tetapi juga meningkatkan pendidikan moral anak-anak. Anak-anak harus dididik menjadi pribadi yang dapat berfikir sendiri, yang menghargai dirinya sendiri.

Kehidupan Beragama

Kami menyimpulkan dari buku yang kami baca bahwa dewi sartika beragama islam, dikutip dari buku dewi sartika yang dikarang oleh Rochiati Wiriatmadja seperti “dewi sartika mengajarkan kepada murid-muridnya membaca al-quran dan menganjurkan tentang berpuasa di bulan Ramadan” apabila dewi sartika mengajarkan kepada muridnya maka dia sendiri merupakan penganut agama islam.

Kehidupan Berumah Tangga
Suatu hari, Dewi Sartika membantu menyediakan hidangan di rumah Bupati. Lalu dia bertemu dengan seorang pria gagah yang menggugah hatinya. Pria tersebut bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, salah seorang guru di Erste Klasse School di Karang Pamulang, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Pertemuan itu berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab. Pada mulanya sang ibu keberatannya jika Dewi Sartika menikah dengan Raden Agah. Menurutnya, Raden Agah tak setara untuk menjadi suami putrinya, karena Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung yang sangat disegani banyak pihak. Dewi Sartika kecewa dan menganggap ibunya kolot dan tak realistis. Tapi, meski ditentang, dia tetap menjalin hubungan dengan Raden Agah. Akhirnya sang ibu pun menyetujui, dan pada 1906, resmilah Raden Kanduruan Agah Suriawinata menjadi suami Dewi Sartika.

Kehidupan Masa Tua

Semenjak di tinggal suami kesehatan Dewi Sartika mulai menurun. Beliau menderita penyakit diabetes. Badannya sering lemas dan tidak dapta bekerja seperti sediakala. Sering beliau terpaksa istirahat dirumah, meninggalkan tugas di Sekolah. Kejayaan sekolah perempuan nya pun tidak berlangsung lama. Jepang memporak-porandakan sekolah ini. Nama sekolah dirubah, kurikulum dirubah, murid-murid juga berkurang banyak. Penderitaan ini dilanjut dengan agresi militer Belanda. Bandung Lautan Api adalah klimaks dari berakhirnya sekolah yang didirikan ibu Dewi tersebut. Dewi Sartika dan penduduk lainnya berjalan kaki mengungsi ke arah selatan pada waktu Bandung dibakar. Di Ciamis lah Ibu Dewi tinggal dan mulai sakit-sakitan. 11 September 1948, Ibu Dewi wafat. Ruhnya pergi mengembara ke alam baka dengan membawa segala kenangan tentang sekolah yang dicintainya.


Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Raden Dewi Sartika adalah Pahlawan pendidikan kaum wanita Indonesia, pahlawan nasional, sekaligus tokoh panutan di kalangan masyarakat Sunda. 
Ia bersama Kartini adalah tokoh perempuan terkemuka Indonesia. Totalitasnya dalam memperjuangkan pendidikan terutama bagi kaum perempuan di akui dan diberikan apresiasi pemerintah dengan memberinya gelar pahlawan nasional sejak tahun 1966.

Kehidupan Berkarir/Bekerja
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Gagasan/Pemikirannya
-          Dewi Sartika ingin menanamkan kepada perempuan bumi putera, sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala. Agar mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya dan tidak melulu bergantung pada suami, apalagi pada belas kasihan orang lain.
-          Dewi Sartika berpendapat bahwa dalam hal untuk meningkatkan moral dan intelektual wanita pribumi tidak berbeda banyak dari kaum lelaki. Ia juga berpendapat untuk pendidikan yang baik harus di sekolahkan dengan baik pula.

Tingkah Laku

Dewi Sartika bersekolah di Eerste Klasse School. Dia mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Gerak-geriknya lincah, sigap, dan berani, agak berbeda dari wanita umumnya. Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Kendati sehari-hari dia mengenakan kebaya dan kain panjang, boleh dibilang pembawaannya agak tomboy.


Ucapan yang Menjadi Slogan

“Menjadi perempuan harus banyak mempunyai kecakapan agar bisa hidup”
Slogan ini memang tidak terlalu mendunia tetapi sering kali kita mendengar ibu kita menasihati kita dengan ungkapan dewi sartika ini .



Perjuangan dan Pengorbanan

Dewi Sartika Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya

Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya.

Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran. Apa yang dilakukan Dewi Sartika dengan sekolah di Bandung ini rupanya menjadi pelajaran dan teladan bagi wanita di daerah lainnya. Di daerah Garut, Tasikmalaya maupun Purwakarta kemudian berdiri pula sekolah serupa, Sekolah Keutamaan Isteri. Apa yang telah dilakukannya sangat menarik perhatian banyak orang saat itu. Pejabat-pejabat pemerintah pun kemudian sering berkunjung ke sekolahnya, bahkan kemudian menghadiahkan Bintang Perak sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasa Raden Dewi Sartika.

Era Perang Dunia I, merupakan masa paling berat bagi Dewi Sartika dalam mengatasi keuangan sekolahnya. Namun upaya kerasnya berhasil mengantarnya melewati itu semua. Bahkan, pada tahun 1929, Sekolah Keutamaan Isteri sudah memiliki gedung sendiri. Seiring dengan itu, Sekolah Keutamaan Isteri pun berganti nama lagi menjadi Sekolah Raden Dewi. Terakhir, pada masa perang kemerdekaan, kota Bandung berhasil diduduki oleh pasukan Belanda. Semua rakyat mengungsi. Dewi Sartika pun terpaksa menghentikan kegiatan dan ikut mengungsi ke Cinean. Raden Dewi Sartika beruntung masih sempat menyaksikan kebebasan bangsanya dari tangan penjajah walaupun ia harus menikmatinya lebih banyak di pengungsian.

Saat di pengungsian, beliau meninggal dunia pada usia 63 tahun, persisnya pada tanggal 11 September 1947. Mengingat situasi perang, maka jenazahnya dimakamkan di Cinean, namun di kemudian hari dipindahkan ke Bandung. Mengingat jasa-jasanya dalam membangun putri-putri bangsa, maka pemerintah atas nama negara menganugerahkan gelar kehormatan pada beliau sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Des 1966 dan disahkan melalui SK Presiden RI No.252 Tahun 1966.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar